Untuknya yang kusayang...

Sesal di akhir tiada guna..
Kalimat ini klasik, tapi cukup membuatku tersadar. Setelah sekian lama berkutat dengan waktu, memperjuangkan yang ingin kumiliki, menafikan mereka yang peduli, mereka yang sayang, bahkan keluarga dan orang tua, demi seseorang yang menjadi cita dalam hidup. Kurasakan kini begitu pahit, ternyata semua yang kulakukan hanya sia-sia dan semua telah tiada arti. Dari awal hati ini bertanya tentang ketulusan, namun otakku selalu mengatakan bahwa akan ada terang dan masih ada harapan untuk berjuang. Aku pun berjuang, mengorbankan segalanya, memberikan segalanya, menguras segala energi, mendedikasikan diri, hingga karir, teman, sahabat bahkan keluarga. Aku ikhlas hidup hanya berteman sepi, perjalanan rumah kantor, dengan sesekali keluar untuk membeli kebutuhan yang pun harus dengan penuh kecurigaan. Besarnya rasa sayang, ketulusan, perhatian ternyata bukan ukuran,, yang dibutuhkan hanya kepuasa ego dan hakikat eksistensi diri.

Meski berat, aku harus pasrah. Aku hanya tak habis fikir, begitu tinggikah rasa ego itu? hingga tidak mempertimbangkan hal baik? sehingga merasa diri paling benar dan dengan angkuh melegalkan apapun yang ingin dilakukan. Kebohongan yang berkali kutemui, kalimat yang tak ada aplikasinya, tak lagi mengerti apa makna sayang dan benci. Tuduhan yang sejatinya dilakukan oleh diri sendiri. Semua orang tau bagaimana diri ini, semua orang tau bagaimana rasa ini, tapi tidak dia yang aku dedikasikan.

Aku bukan manusia sempurna, aku bukan malaikat, tapi aku terus berusaha untuk menjadi yang terbaik seperti yang dia ingin,, tapi semua sia-sia... semua kejujuran yang tak pernah dihargai, semua kalimat yang selalu dipandang dari sisi diri, ntahlah,,,
Semua ini begitu berat..

Adakah dia tau bahwa aku terus memikirkan kebaikannya dan itu yang membuatku tak bisa melupakannya. Adakah dia bisa merasakan sakit yang kurasakan? masih terngiang kalimat-kalimat yang sangat meyakinkan, tapi semua itu hancur dan dia hancurkan sendiri.

Ntah apa yang dicari, ntah apa yang diinginkan, ntah apa yang ingin dicapai dalam hidup ini.

Dengarlah...
Aku selalu mendoakan suksesnya, untuk keluarganya, ibu, bapak dan adik-adiknya,,,
Aku tau beratnya hidup yang dijalani, tanggung jawab yang dia emban, tuntutan mereka, karna itu aku selalu mengalah... aku mengerti perihnya.. aku mengerti kesusahannya...

Biarlah jika fikiran dan opini tentangku tak berubah, biarlah jika semua itu telah tertanam dalam benaknya, aku takkan menyalahkan,,, aku hanya ingin dia tau bahwa aku tak pernah berniat buruk terhadapnya,,,

Andai saja.. dia lebih terbuka..
andai saja.. semua berjalan sewajarnya..
andai saja.. seperti mereka yang menjalaninya terbuka...
Andai saja.. tak banyak yang ditutupi..
andai saja.. keberadaanku diakui..
Andai saja.. kesetaraan itu benar-benar ada...
Andai saja.. bisa menilai lebih positif, bisa melihat dari sisi objektif, bukan ego..
Andai saja dia bisa lebih bersahabat dengan orang sekitarku, dan berkomunikasi dengan mereka secara baik,,, dan tidak cepat mengklaim buruk semua orang... karna aku tak pernah menilai mereka yang menghabiskan waktu dengannya.. dimataku, manusia sama.. mereka punya sisi baik dan buruk,,

Aku telan dalam2 ketika dia menilai buruk orang sekitarku, teman, sahabat, tetangga, bahkan keluarga, kujalani semua dengan menjaga jarak dengan mereka, demi dia... bahkan untuk membantu orang tuaku acapkali jadi konflik dan tak sedikit orang tuaku mengalah,,, dan mereka mengerti kenapa semua itu aku lakukan..
apakah aku pernah menilai buruk satu pun temannya? sahabatnya? keluarganya? orang-orang sekitarnya?
Konsistensi terhadap apa yang dilarang, apa yang menjadi aturan, hanya berlaku untukku...
dan semua itu,,, kujalani dengan ikhlas.. kuhadapi semua demi dia...

Ah ntahlah... kisah ini begitu rumit, semua cerita yang ntah, kekecewaan, kemarahan telah menjadi biasa..
Yang menjadi sisa tanya, apa yang sebenarnya dia cari dan inginkan? Semoga dia mendapatkannya, meski bukan dariku..

Mungkin ini jawaban atas do'a orangtuaku, yang tak sedikit dianggap remeh..
Meski mereka pun telah berusaha yang terbaik untuk dia.. menghargai dia..
Karna mereka tau bahwa aku sangat menyayanginya....

Semoga masih ada jalan terang.. Amien..
Selengkapnya...

Kisah ini...

Kecewa? ya..
Sedih? ya...
Marah? hmmhh... ntah apa yang harus dimarahi..
Pertanyaannya adalah, aku terlalu pede menganggap diriku satu-satunya, karna ada manusia lain yang memilikinya, tidak hanya aku.. kekecewaan adalah karna aku begitu menaruh harapan.. meskipun semua semu. Tapi kini, setelah sekian lama, sekian banyak dan semakin banyak bukti bahwa aku bukanlah siapa-siapa. Aku hanya harus ada ketika dibutuhkan, bukan sebuah ketulusan hati...

Begitu lama aku bertahan dengan semua. Kurelakan segalanya, kuberikan segalanya, kuabdikan diri, kuikuti smua maumu,, kupenuhi pintamu, semua tanpa pamrih kecuali kasih dan sayang...
Tapi semua itu tak cukup membuatmu puas, tak cukup membuatmu paham rasa ini, tak cukup membuatmu bahagia untuk berasa di sampingku..
Ntahlah.. ntah apa yang diinginkan, ntah apa yang dicari, apa yang menjadi cita...
Aku pasrah.. Karna DIA tak pernah lengah, karna DIA selalu ada, karna DIA maha tau segalanya.. Bismillahirrohmanirrohim... Kumulai hariku meski dengan segelintir asa yang tersisa, semoga masih ada terang..
Selengkapnya...

MUARA JAMBI ARCHAEOLOGICAL SITE

Written by: Junus Satrio Atmodjo
Translated by: the Blog owner

MUARAJAMBI is located on Batanghari riverside, around 22 kilometers eastern Jambi city, exactly in Muarajambi village, Marosebo sub-district, Muaro Jambi regency.

The name of Muarajambi first appeared in western literature on a report written by a navy officer from United Kingdom named S.C. Crooke in 1883. The officer was assigned by colonial governance center in Madras, India to do mapping (survey) on hydrology and to record regions along the Batanghari River for military concern.

In his record, Crooke mentioned that he saw ruins of brick construction in the Muarajambi forest. He also reported finding of a stone elephant sculpture. As an evidence of the visit, Crooke brought a sculpture head having curly hair like a wig belongs to judge in England to Penang Island, Malaysia.

Crooke’s description about the sculpture hair model may figure Buddha sculpture having its hair chiseled like that. He also wrote about the host villagers’ conviction saying that Muarajambi has ever been a capital of an ancient kingdom (Anderson, 1971: 396). Beside the relics in Muarajambi, Crooke also revealed his witness about Hindu sculptures – he means Buddhists – found in Jambi city.

The Crooke shallow information then enriched by T. Adam, a Dutchman visiting Jambi in 1921. He mentioned some sculptures that he recognized as elephant sculpture, standing Buddha, an object like a mortar and a stone throne or padmasana.

Adam also saw brick construction ruins in Muarajambi, though his attention was more on Candi Stano (Astano = grave) in the hind village which structure was partially seen. Similar to Crooke, Adam did not mention other archaeological heritage except construction and statue (1921:194 – 197). Since he only recorded findings within the village and was not going further into jungle.

Thirteen years later, F.M. Schnitger visited Muarajambi. He repeated what Adam did by collecting additional information about names of new temples, they are Gumpung, Tinggi, Gunung Perak, Gudang Garem, Gedong I and Gedong II (Schnitger, 1937:6; 1964:19).

During his stay in Muarajambi, Schnitger did excavation in the inner part of some temples. Though, the found artifacts have not been reported in his writing. It should be noted that Schnitger is the first scholar relating the Muarajambi Site to ancient Malay (Mo-lo-yeu) mentioned in Chinese manuscript XVII century. He went through a small river called Melayu in western part of Muarajambi village as basic argumentation.

In 1954, this site was researched by archaeologist of Indonesia. At that time, the research was conducted by Department of Education and Culture team lead by R. Soekmono. Crooke, Adam and Schnitger records are used as reference. The team took new photos to enrich the existing collection (Soekmono, 1984: 15-16). They assumed there is relation between this site and Sriwijaya kingdom, without leaving further explanation.

For about 20 years, the attention against the Muarajambi Site practically stopped. Then in 1975, restoration was started by Directorate of History and Archaeology, Department of Education and Culture. During forest sweeping mission, the workers in the field successfully showed large seven temples area: Kotomahligai, Kedaton, Gedong I and II, Gumpung, Tinggi, Kembarbatu, dan Astano.

A 10x120 meter pound was also found on the southern Candi Tinggi , which the host villager called Telagorajo. Surprisingly, the name of Gudang Garem and Gunung Perak as reported by Schnitger was not known by the villagers.

Archaeological information of Muarajambi Site is more complete after Bakosurtanal (National Survey and Mapping Coordination Board) did aerial photo on the temples area in 1985. This photograph has produced an accurate basic map consisting information about distribution of ancient building, canal system, and the site micro physic area data. It is visibly on the map that the Muarajambi Site has canal system which is made encircling natural levee.

Apparently there are more temples than initially seven temples known after the finding of about 40 more menapo. Menapo is a hill of bricks originally the ruins of building or narrow yard surrounded by trench made by ancient people.

Of the photograph, it is identified that the Batanghari River stream moved into southern part of the site which was previously nearby. The villagers’ houses in Muarajambi village are at present built on a new natural levee which is not as old as the Muarajambi Site.

Through the research since 1972 to 1995, National Archaeological Research Centre concluded Muarajambi has ever been multitude settlement. Thousands fragments of ceramic found during the research, excluding ceramics found together with other cultural articles after the restoration and paths making.

The Site occupant had admitted writing. This is shown on finding of some short inscriptions written on old Javanese which are revealed on the brick surface. Amongst are read as si, ma, ya, hra, hu, or ka. Some are not singular letter, but short word like nanaya (Suhadi, 1985: 259).

The effort to identify age of the temples applying paleography became more complete after finding of inscribed golden plaque from both temples areas. Boechari summarized relative age of both areas started from IX to XII century (Boechari, 1985:238).

The Boechari’s summary similar to Abu Ridho analysis applying Chinese ceramic as the research object. The observation against formal aspect of the ceramics (form, material, style and color) has lead to a summary that the majority is from China since XI to XIV century.

In less number, there were ceramics from Southeast Asia, namely Thailand, Khmer (Cambodia) and Myanmar (Burma) made of porcelain or stoneware. The ceramics from Southeast Asia are younger than the ceramics from China, as they are there since XIII century and after (Ridho, 1995).

Apparently, it is found that not all imported ceramics are made of porcelain or stone. There are many ceramic ruins made of shard. The material color is brown reddish or yellow reddish, thin, hard, and soft surface. The shard burning is done in high temperature over or almost 1.000 Celsius.

Abu Ridlo predicted the shards are from Thailand, particularly Satingpra in Southern part of the country which is known as one of the most important shard producer within Southeast Asia. The shapes are mostly in form of vessel or high-necked vase.

This characteristic differs to local shard ceramic which surface is rough, yellowish or yellow brownish, thick, fragile and often has decoration like ocher red lines. The local ceramics are also found in form of vessel, cooking pot, traditional oil lamp, pitcher or crock. In addition to those shapes, concave cap fragments and stove were also found.

Few white and broken white earthenware shards with turquoise glazing were also found in Muarajambi. This fragile and thick earthenware vessels are not local or China product, but are from West Asia, namely Persia or Iran.

In VIII – XII century, trading between China and Iran were through land and sea routes. Sumatera was one of port for ships from both countries during their journey. The trader from both Persia and China might stop by Muarajambi bringing the glazed shards to exchange with local commodity.

In addition to the ceramics, Muarajambi Site also brought to finding of some small beads made of stone and glass. The stone are chalcedony made of orange white cornelian, and agate stone with white and black lines forming lining. The shapes are miscellaneous, tetragonal double cone, spherical and oval.

Glass beads discovered during the surface excavation and survey are in various colors: light red, red brownish, yellow, green, green yellowish, and blue. Finding of glass fragments in the form of conglomeration of hundreds black beads nearby Candi Astano becoming indication that the Muarajambi community has ever produced beads.

This prediction is reasonable as the Puslitarkenas research in 1987 surrounding the temple found hundreds stone, glass and terracotta beads either broken or intact. In the same time, some glass trickle remains, combustion residue, curdled beads clod and crucible which indicate glass processing activities (Hardiati, 1988: 229).

Gold coin, gold ring and other gold jewelry scraps were also discovered, as well as artifacts found in Muarajambi Site in different occasion. Gold artifacts were mostly discovered in peripih of main building of Candi Gumpung and ancillary buildings in Candi Tinggi and Kembarbatu.

The gold metals are in form of thin plaques, some others are made like jewelry. In the same time, small red, purple and blue jewels were also found. Two purple stone have inscription written on siddham (prenagari).

Only few bronze articles were found in Muarajambi Site and were not intact. Among the found bronze statue remains are part of wrist with chakra motif chiseled on the foot. The wrist is confirmed coming from Buddhist statue (Utomo, 1984: 72-73)

Other bronze artifact finding was giant bronze vessel in 1994 in eastern Candi Kedaton. This vessel is the only big bronze artifact which is discovered fully. The height is 67 centimeters, diameter 78 centimeters, and weight 250 kilograms. The function has not yet identified. Considering that the discovery nearby temple, the bronze vessel is suspected having connection with religious ceremonies.

The nearby ancient buildings location in Muarajambi enabled the host community mobility. This is reflected from the distance between the temple buildings and menapo which is around 300 meter far. The finding of thousands ceramic artifacts surrounding the temple impressed the host community concentration living nearby the temple area (Rangkuti and Rosita, 1988).

Watching the concentrated finding of archaeological sites, many experts then connecting the Muarajambi Site to ancient Malay Kingdom as what Schnitger revealed. This prediction is reasonable after identifying no other sites in Jambi having such concentrated archaeological heritage except Muarajambi.

The length of sites which is more than seven kilometers and the width of 200 – 400 meter becoming adequate reason to predict the important role of the Site in the ancient time. More support either from individual or organization is required to discover the bunch of archaeological heritage in Muarajambi.

Yet, so far there has no expert surely identify the site as governance centre of the ancient Malay kingdom, unless connecting it to the kingdom based on its age.

Selengkapnya...

Teruskanlah...

Agnes Monica - Teruskanlah

Pernahkah kau bicara
Tapi tak di dengar
Tak di anggap
Sama sekali
Pernahkan kau tak salah
Tapi disalahkan
Tak di beri
Kesempatan

Reff :
Kuhidup dengan siapa
Ku tak tau kau siapa
Kau kekasihku tapi
Orang lain bagiku
Kau dengan dirimu saja
Kau dengan duniamu saja
Teruskan lah.. Teruskan lah
Kau begitu

Kau tak butuh diriku
Aku patung bagimu
Cinta bukan
Kebutuhan mu
Hoo.. Hooo

Kau dengan dirimu saja
Kau dengan duniamu saja
Teruskan lah.. Teruskan lah
Kau.. kau begitu
Teruskan lah… teruskan lah..



Selengkapnya...

Manusia Kuno Meksiko Miliki Gigi Geligi Palsu Hewan Buas

Kapanlagi.com - Sorang pria yang kerangka tubuhnya berusia sekitar 4.500 tahun yang ditemukan di Meksiko memakai gigi geligi palsu dengan gigi taring yang diambil dari hewan srigala ataupun jaguar, yang menjadi contoh karya dari ilmu kedokteran gigi masa kuno di wilayah benua Amerika bagian tengah, demikian para ilmuwan mengatakan Kamis.
Kerangka pria itu ditemukan terkubur didalam lapisan abu vulkanik dibawah batu karang bergambar kuno didapati di wilayah pegunungan Meksiko barat yang diperkirakan telah berusia 2.500 sebelum Masehi.

Pria itu sendiri diperkirakan berusia antara 28 hingga 32 tahun memiliki tinggi badan sekitar 5 kaki 1 inci (152 cm) demikian dikatakan para ilmuwan peneliti dari University Connecticut.

Seorang ahli archeology dan paleontologi, James Chatters mengatakan gigi geligi rahang atas dan bagian depan pria itu telah dipotong kemungkinan untuk memasukkan gigi palsu yang dibuat dari bagian rahang seekor srigala atau seekor jaguar.

"Susunan gigi geligi palsu pria tersebut tampaknya merupakan bagian dari bagian mulut hewan predator atau sejenis binatang buas," kata Chatters.

Tidak menutup kemungkinan bahwa gigi geligi pria tersebut dipotong untuk alasan keindahan atau menunjukkan status khusus mungkin untuk menunjukkan posisinya sebagai pemimpin spiritual atau dukun, kata Chatters menambahkan.

Banyak hal-hal didalam budaya pre historis Meksiko yang mengacu kepada hewan buas antara lain jaguar.

Suku Indian, Maya mempercayai hewan kucing besar itu adalah penguasa dunia lain dan menggunakan kulit bulu jaguar yang dianggap memiliki kekekuatan magis dalam berbagai upacara keagamaan.

Pria itu kemungkinan meninggal akibat infeksi yang berkaitan dengan pekerjaann penempatan gigi geligi palsunya demikian menurut Chatters.

"Mereka memotong gigi geliginya hingga mengenai gusi dan pulpa kavity (pulp cavity yaitu kumpulan jaringan yang saling berkaitan berisi pembuluh darah dan serat-serat syaraf yang terletak dibagian tengah gigi) dan pria itu mengalami dua absceesses (peradangan yang disertai pembengkakan pada gusi)didalam rahang mulutnya pada saa ia meninggal, kemungkinan juga karena keracunan darah," lanjut Chatters.

Tricia Gabany Guerrero yang mengetuai tim kerja di tempat penggalian di situs kuburan kuno tersebut mengatakan ia dan tim kerjanya menemukan tempat kuburan kuno itu dengan pertolongan dari para tetua suku Indian Purepecha yang kini mendiami wilayah Michoacan, dan mereka menamakan kerangka pria bertaring hewan buas itu dengan naman "Pria tanpa rambut".

Dinding-dinding batu karang di area kuburan kuno penuh dengan gambar termasuk simbol sistem kalender yang menunjukkan tingkat peradaban dan budaya suku Aztec dan Maya (suku-suku terbesar di Amerika tengah yang terkenal dengan peradabannya yang tinggi).

"Kami sangat tercengang ketika melihat rangkaian simbol kalender di dinding batu karang di area pekuburan yang memperlihatkan tingkat seni budaya Mesoamerika," kata Guerrero.

Para archeolog memperkirakan bahwa manusia pada jaman pria bertaring hewan itu sudah melakukan penanaman jagung dan menjadikannya sebagai makanan utama mereka. (*/rit)
http://www.kapanlagi.com/h/0000120425.html
Selengkapnya...

No title

Have....
Nothing to write,
Nothing to think,
Nowhere to go,
Nothing to believe,
Nothing to do,
Nothing to remind,
Nothing to see,
Nothing to share,
Waiting for nothing,,
Wishing nothing
Trust nothing
Nothing, nothing, nothing,,
Is it the end of all?

Brain is not working, wasting time for nothing....
Moving for Nothing, doing for nothing,
Nothing, nothing, nothing..

Hopeless? may be 'YES', may be 'NO'..
Then what? just follow the flow, let everything goes by,,
For nothing to gain, passing time doing, thinking, creating nothing.

Written by: no one,nowhere, with nothing



Selengkapnya...

Buncah...

Setelah sekian lama aku bertahan.. malam ini semua membuncah, pecah. tak tahan dengan semua caci maki. tak tahan dengan segala curiga, tuduh yang sanga bukan aku. Aku tak seburuk yang kau pikir. Aku bukan yang selama ini ada dalam otakmu.

Semua perjalanan panjang, kurasan energi tak ada sisa manis, semua terbakar,, hanya tinggal bara yang berapi,,,
Aku benar2 marah, aku benar2 kecewa, aku benar2 diinjak, aku telah sampai pada batasnya.

Semoga masih ada jalan terang dibalik semua ini. Amien,,,


Selengkapnya...

Semua telah tidak bersahabat

Beberapa komentar kuterima saat kunyatakan bahwa ‘semua telah tak bersahabat’. Apatis, mungkin ada benarnya, tapi cukup beralasan untuk menyatakan hal ini. Berbagai kondisi dan berita akhir-akhir ini dari segala bentuk alur informasi menguakkan betapa ‘semua telah tak bersahabat’.


Beberapa waktu lalu, kita mendengar isu murahan yang beredar tentang Kiamat 2012. Saat mendengarnya, saya hanya geleng-geleng kepala. “Sudah sebegitu hebat dan pintarkah manusia sehingga bisa meramal kapan kiamat tiba, bukankah hanya Tuhan yang mengetahui kapan saat itu tiba?”. Saya pun penasaran dengan informasi ini. Mencari informasi yang lebih ilmiah dan lebih masuk akal sehingga ada cukup alasan untuk mengatakan kiamat (baca: kehancuran besar) akan terjadi pada tahun 2012. Saya menemukan beberapa artikel tentang hal ini. Menurut Deputi Bidang Sains Pengkajian dan Informasi Kedirgantaraan, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Bambang S Tedjasukmana, fenomena yang dapat diprakirakan kemunculannya pada sekitar tahun 2011-2012 adalah badai Matahari. Prediksi ini berdasarkan pemantauan pusat pemantau cuaca antariksa di beberapa negara sejak tahun 1960-an dan di Indonesia oleh Lapan sejak tahun 1975. Apakah ini murni perubahan alam, atau sebenarnya karna ulah manusia? Jika benar terjadi, alam atau manusiakah yang tidak bersahabat?

Pemilu yang katanya merupakan pesta rakyat telah menyita perhatian banyak orang, tidak hanya di Indonesia, bahkan mancanegara. Lihatlah segala prosesnya, apakah benar menjadi pesta rakyat? Apakah ini maksdunya pesta membagikan rejeki orang-orang berduit dan setelah tidak terpilih, mereka minta kembali. Benarkah bantuan itu karma kamanusiaan, atau karma hanya memikirkan diri sendiri?

Sekitar bulan Februari – Maret lalu, kita mendengar berita tentang harimau sumatera yang memangsa pembuka lahan di Jambi. Kurang lebih 12 orang meninggal dunia. Pada awal Mei, berita lain tentang gajah yang masuk lahan perkebunan dan merusak tanaman terjadi di Jambi, dan dalam dua minggu ini, harimau di Kerinci berkeliaran di perkampunagn penduduk dan sempat pula berduel dengan seorang peternak sapi. Apakah binatang-binatang itu sudah tidak bersahabat, atau manusia yang tida bersahabat?

Banyak lagi kejadian alam lainnya. Banjir dimana-mana, tanah longsor, wabah penyakit, gunung meletus dan musibah lainnya. Apakah semua ini mengingatkan kita tentang betapa egoisnya manusia? Atau memang alam yang sudah tua? Atau alam telah kehilangan sabarnya?

Banyak petani akhirnya gagal panen, padahal mereka telah gigih bekerja. Sudah sebegitu marahkah alam pada kita sehingga mengurangi kebaikannya bagi kehidupan kita?

Pembaca mungkin akan berkomentar tulisan ini sebuah tulisan putus asa. Tapi saya cukup punya alasan untuk mengungkapkan semua ini. Ini merupakan ungkapan jiwa seseorang yang haus akan kedamaian, keindahan masa-masa dimana semua masih bersahabat, masih berfikir tentang kearifan bersama, karena kita diciptakan untuk saling membantu dan membuat kedamaian di atas bumi ini, bukan kerusakan. Ketika semua telah marah dan memikirkan diri sendiri, lalu siapa yang akan memikirkan bumi ini? Tempat kita berpijak dan sumber kehidupan untuk semua makhluk. Kiamat adalah kehancuran yang kita buat sendiri. Kehancuran sesungguhnya adalah ingin kita yang kita ciptakan sendiri dengan tangan-tangan kita. Tuhan telah sangat bijak membiarkan kita berbuat semaunya, dan kita pula yang memetik buah dari apa yang kita perbuat.

YOK BERSAHABAT DENGAN ALAM.. DARI HAL YANG PALING KECIL SEKALIPUN…..

Selengkapnya...

Warga Kerinci Duel Lawan Harimau

SUNGAIPENUH – Setelah lama tak terdengar, harimau sumatera (phantera tigris sumatrae) kembali mengamuk. Kali ini daerah yang jadi sasaran amukan si raja hutan adalah Kerinci. Dalam tiga hari terakhir, lebih dari sepuluh harimau dilaporkan berkeliaran di dua desa: Desa Pungut Hilir, Kecamatan Air Hangat Timur, dan Desa Muara Air Dua, Kecamatan Sitinjau Laut.

Selain menyerang hewan piaraan warga seperti kambing dan sapi, binatang buas itu juga menyerang manusia. Untung sampai kemarin belum ada korban jiwa. Di dua desa itu, tercatat dua ekor kambing dan dua sapi sudah dimangsa harimau. Bahkan seorang pemilik sapi, Nasir, sempat berkelahi dengan dua ekor harimau yang mengamuk tersebut.

Sanusi, warga Desa Hiang Karya, Kecamatan Sitinjau Laut, mengungkapkan bahwa sekitar sepuluh ekor harimau terlihat oleh warga berkeliaran di sekitar hutan di Desa Muara Air Dua dan Desa Pungut Hilir. Gejala mengamuknya harimau itu dirasakan warga sejak sepekan lalu. Ketika itu dua kambing warga hilang akibat dimangsa dua harimau yang berkeliaran.

Sepekan kemudian, Jumat (1/5) dinihari, kejadian serupa terulang. Satu sapi diterkam di dalam kandang di bawah rumah warga. Rumah warga tersebut terdapat di tengah sawah di Desa Muara Air Dua, Kecamatan Sitinjau Laut. Mengetahui sapi miliknya diterkam harimau, Nasir tidak tinggal diam. Dia berusaha membebaskan sapinya. Duel antara pemilik sapi dan harimau tidak terhindarkan. “Terjadi tarik-menarik antara harimau dan pemilik sapi,” ujar Sanusi.

Menurut dia, peristiwa yang menghebohkan itu terjadi sekitar pukul 01.30 dinihari. Duel itu berlanjut di luar kandang sapi. Untung dalam perkelahian yang berlangsung sekitar tiga jam itu, Nasir selamat. Tidak sedikit pun tubuhnya cedera. Hanya baju Nasir yang terkoyak di bagian belakang akibat terkaman harimau.

Terpisah, Kepala Seksi TNKS Kerinci Junaidi membenarkan kejadian mengamuknya harimau tersebut. Menurut dia, saat ini pihaknya dan Polhut berada di lapangan untuk mencari keberadaan harimau. Junaidi mengungkapkan, perkelahian antara harimau dan manusia terjadi pada Jumat dinihari lalu. Namun korban tidak mengalami luka serius. Padahal dia sempat memberikan perlawanan hingga harimau itu kabur. “Hanya kakinya yang luka akibat terkaman harimau,” katanya.

Junaidi mengaku belum tahu pasti penyebab harimau berkeliaran dan masuk ke kebun warga. “Kita masih menyelidiki keberadaan harimau tersebut. Untuk sementara ini kondisi Desa Muara Air Dua terkendali,” katanya.

Sebelumnya, harimau sumatera juga mengamuk di kawasan Desa Sungaigelam, Muarojambi. Tercatat sembilan warga yang membuka lahan di daerah itu menjadi korban terkaman sang raja hutan. Delapan di antaranya tewas dengan tubuh tercabik-cabik. Hanya satu yang selamat.

Korban tewas itu di antaranya Khoiri, Mat Ali (50), dan Nana Deri (17). Ketiganya perambah hutan asal Lampung. Lalu Raba’i (48), warga Desa Pematang Raman, Kecamatan Kumpeh Ilir, Muarojambi. Raba’i tewas diserang harimau pada Sabtu (24/1) lalu.
Setelah Raba’i, korban berikutnya bernama Suyut (55) dan Imam Mujianto. Keduanya petani yang tinggal di Desa Sungaigelam, Muarojambi. Peristiwa tragis itu terjadi pada Rabu (28/1), saat keduanya menginap di pondok di hutan Desa Puding, Sungaigelam, Muarojambi.

Korban berikutnya adalah Sutiyono (36), warga Blok E, Desa Mekarsari, Kecamatan Kumpeh Ilir, Muarojambi. Peristiwa yang menimpa korban itu terjadi pada Rabu malam (4/2) sekitar pukul 22.10 WIB. Sutiyono yang sehari-hari berprofesi sebagai petani saat itu sedang menginap di pondoknya. Pada malam nahas, korban hendak buang hajat di belakang pondok. Saat jongkok, dia diterjang seekor harimau dari arah kanan.

Berkat kesigapannya, Sutiyono selamat pada kejadian itu. Namun korban menderita luka cakaran pada lengan kanan, paha kanan, dan betis kanan.(eep)

sumber: http://www.jambi-independent.co.id/home/modules.php?name=News&file=article&sid=11357
Selengkapnya...